Jojorong: Kue Tradisional yang Disajikan dalam Cup Daun Pisang untuk Pesta Desa

Jojorong: Kue Tradisional yang Disajikan dalam Cup Daun Pisang untuk Pesta Desa – Di tengah kemajuan zaman dan maraknya kuliner modern, Indonesia tetap memiliki warisan kuliner yang sarat makna dan keindahan tradisional. Salah satu yang patut dibanggakan adalah kue Jojorong, jajanan manis khas Banten dan Jawa Barat bagian barat, yang memiliki bentuk unik karena disajikan dalam cup kecil dari daun pisang muda.

Jojorong dikenal sebagai kue tradisional khas Pandeglang, Banten, dan sering dihidangkan dalam acara-acara istimewa seperti pesta desa, syukuran, kenduri, hingga acara keagamaan. Di balik tampilannya yang sederhana, kue ini memadukan rasa gurih, manis, dan lembut dalam harmoni yang khas Nusantara.

Asal usul nama “Jojorong” diyakini berasal dari bahasa Sunda, yang merujuk pada bentuk atau cara penyajiannya yang berlapis dan disusun dalam wadah daun pisang yang dibuat menyerupai cangkir kecil. Setiap “cup” Jojorong biasanya terdiri atas tiga bagian utama:

  1. Lapisan bawah: adonan tepung beras putih lembut, beraroma daun pandan.
  2. Isi tengah: gula aren cair atau serutan gula merah manis.
  3. Lapisan atas: santan gurih yang memberikan cita rasa khas dan tekstur lembut.

Perpaduan bahan-bahan alami ini menciptakan sensasi rasa yang menenangkan, sangat khas jajanan tradisional tempo dulu. Aroma daun pisang yang harum berpadu dengan wangi pandan dan gula merah, membawa kenangan masa kecil dan suasana pedesaan yang hangat.

Selain menjadi suguhan di pesta rakyat, Jojorong juga melambangkan gotong royong dan kebersamaan, karena proses pembuatannya biasanya dilakukan bersama-sama oleh para ibu di desa. Dalam budaya Banten, kegiatan membuat Jojorong sering dianggap sebagai momen sosial yang mempererat hubungan antarwarga, terutama saat menjelang acara adat atau hari besar.


Proses Pembuatan Jojorong dan Filosofi di Balik Setiap Lapisan

Salah satu daya tarik utama Jojorong adalah cara pembuatannya yang masih tradisional, tanpa menggunakan bahan pengawet atau pewarna buatan. Semuanya mengandalkan bahan alami dan ketelatenan tangan pembuatnya.

1. Membentuk Cup dari Daun Pisang

Daun pisang muda menjadi komponen penting dalam kue ini. Sebelum digunakan, daun harus dilayukan di atas api agar lentur dan mudah dibentuk. Setelah itu, daun dilipat membentuk wadah kecil menyerupai mangkuk atau cup mini, lalu disemat dengan lidi. Cup daun inilah yang menjadi wadah sekaligus identitas visual khas Jojorong.

Aroma daun pisang yang khas tidak hanya mempercantik tampilan, tetapi juga memberikan cita rasa alami saat kue dikukus. Wangi daun pisang yang berpadu dengan pandan membuat Jojorong terasa lebih autentik dan menggugah selera.

2. Mengolah Adonan dan Isian

Lapisan pertama dibuat dari campuran tepung beras, tepung sagu, dan air pandan yang diaduk hingga lembut. Setelah itu, sedikit adonan dituangkan ke dasar cup daun pisang. Lapisan tengah diisi dengan gula merah serut atau cairan gula aren, yang akan meleleh lembut saat dikukus.

Lapisan terakhir berupa campuran santan kental dan sedikit garam, memberikan rasa gurih yang menyeimbangkan kemanisan gula merah. Seluruh adonan kemudian dikukus hingga matang. Saat dibuka, Jojorong menampilkan warna kontras yang menawan: putih lembut di atas, cokelat manis di tengah, dan hijau pucat di bawah — menggambarkan harmoni rasa dan warna khas Indonesia.

3. Filosofi Tiga Lapisan Jojorong

Setiap lapisan Jojorong ternyata memiliki makna filosofis yang dalam, terutama bagi masyarakat pedesaan yang masih menjaga nilai-nilai tradisi:

  • Lapisan hijau pandan (bawah) melambangkan kesuburan alam dan kehidupan yang damai.
  • Lapisan gula merah (tengah) mewakili manisnya perjuangan dan rasa syukur atas hasil bumi.
  • Lapisan santan putih (atas) menjadi simbol kesucian, ketulusan, dan kebersamaan masyarakat desa.

Dengan demikian, Jojorong bukan hanya kue, melainkan refleksi budaya dan spiritual masyarakat Banten yang menghargai alam serta kehidupan sosialnya.


Jojorong di Era Modern: Dari Pesta Desa ke Dunia Digital

Meski berasal dari daerah pedesaan, Jojorong kini mulai dikenal lebih luas berkat media sosial dan tren kuliner lokal. Banyak konten kreator kuliner dan UMKM yang mempromosikan kue ini sebagai warisan kuliner Indonesia yang patut dilestarikan.

1. Adaptasi Rasa dan Tampilan

Beberapa pengrajin kue Jojorong kini berinovasi dengan menambahkan varian rasa modern seperti durian, cokelat, keju, atau nangka. Namun, mereka tetap mempertahankan ciri khasnya — penyajian dalam cup daun pisang dan tekstur lembut yang meleleh di mulut.

Bentuk penyajiannya juga mulai beragam, ada yang menggunakan wadah cup bambu atau mini box ramah lingkungan untuk memperluas pasarnya. Meskipun demikian, aroma alami daun pisang tetap menjadi daya tarik utama yang tak tergantikan.

2. Menjadi Ikon Kuliner Banten dan UMKM Lokal

Pemerintah daerah dan komunitas kuliner tradisional kini aktif mempromosikan Jojorong sebagai produk unggulan khas Banten. Dalam berbagai festival kuliner, Jojorong sering dijadikan simbol kekayaan cita rasa lokal dan daya kreatif masyarakatnya.

Beberapa UMKM bahkan mulai menjual Jojorong secara daring melalui platform marketplace dan media sosial. Strategi ini membantu memperkenalkan kue tradisional ini ke generasi muda dan wisatawan yang tertarik menjelajahi kuliner autentik Nusantara.

3. Makna Sosial dalam Setiap Gigitan

Lebih dari sekadar makanan, Jojorong menyimpan nilai sosial yang penting. Di desa-desa Banten, kue ini sering menjadi simbol kebersamaan, dihidangkan saat gotong royong, syukuran panen, atau perayaan pernikahan.

Setiap gigitan Jojorong seolah membawa kita pada suasana pesta desa yang penuh tawa, musik gamelan, dan aroma masakan tradisional. Ia bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga menghangatkan hati dengan kenangan dan makna yang melekat pada tradisi masyarakatnya.


Kesimpulan

Jojorong bukan sekadar kue manis, tetapi sebuah karya budaya yang menyatukan rasa, aroma, dan filosofi kehidupan masyarakat pedesaan. Dari daun pisang yang membungkusnya hingga gula merah yang meleleh di tengah, setiap elemen Jojorong mencerminkan kesederhanaan dan kehangatan khas Nusantara.

Dalam dunia yang serba cepat dan modern, Jojorong mengingatkan kita untuk kembali menghargai proses, kebersamaan, dan kekayaan alam. Kue ini adalah simbol bahwa keindahan sering lahir dari hal-hal sederhana — seperti adonan tepung, santan, dan gula merah yang berpadu dalam harmoni sempurna.

Bagi siapa pun yang berkunjung ke Banten atau daerah Sunda bagian barat, menikmati Jojorong langsung dari cup daun pisang hangat adalah pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Rasanya yang lembut dan aromanya yang menggoda menjadi bukti bahwa tradisi kuliner Indonesia masih hidup dan terus menawan hati siapa pun yang mencicipinya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top